Kamis, 29 September 2016

Aquaculture

Aquaculture

Merupakan bentuk pemeliharaan dan penangkaran berbagai macam hewan atau tumbuhan perairan yang menggunakan air sebagai komponen pokoknya. Kegiatan-kegiatan yang umum termasuk di dalamnya adalah budi daya ikan, budi daya udang, budi daya tiram, budi daya rumput laut (alga). Dengan batasan di atas, sebenarnya cakupan budi daya perairan sangat luas namun penguasaan teknologi membatasi komoditi tertentu yang dapat diterapkan. Budi daya perairan adalah bentuk perikanan budi daya, untuk dipertentangkan dengan perikanan tangkap.
Di Indonesia, budi daya perairan dilakukan melalui berbagai sarana. Kegiatan budi daya yang paling umum dilakukan di kolam/empang, tambak, tangki, karamba, serta karamba apung.

Sejarah

Masyarakat pribumi Gunditjmara di Australia kemungkinan telah memelihara belut pada 6000 tahun SM. Terdapat bukti bahwa mereka telah mengubah dataran seluas 100 km2 di dekat danau Condah menjadi sekumpulan selat dan bendungan menggunakan anyaman yang digunakan sebagai jebakan ikan dan menjaga populasi belut agar dapat dimakan sepanjang tahun.[1][2]


Akuakultur di China telah beroperasi sejak 2500 tahun SM.[3] Pasca peluapan musiman sungai, beberapa jenis ikan, umumnya ikan mas terperangkap di kolam. Pembudidaya memberi makan ikan-ikan tersebut dengan larva dan kotoran ulat sutra. Seleksi telah menciptakan ikan koi dan ikan hias lainnya sejak Dinasti Tang.
Bangsa Romawi telah membudidayakan ikan di kolam.[4] Di Eropa tengah, berbagai biara umat kristiani mengadopsi praktik akuakultur bangsa Romawi.[5] Akuakultur di Eropa menyebar pada Abad Pertengahan karena ikan dan produk ikan harus diasinkan supaya awet sebelum didistribusikan ke tempat yang jauh dari perairan dan ketika itu transportasi cukup mahal.[6]



Di Amerika Serikat, pengembangan ikan spesies Salvelinus fontinalis dimulai pada tahun 1859 dan perbenihan ikan komersial dimulai pada tahun 1864.[7] Warga California memanen kelp pada tahun 1900 dan berusaha untuk menjaga suplainya agar tetap lestari. Kelp yang dipanen disuplai untuk Perang Dunia I.[8]
Hingga tahun 2007, sekitar 430 spesies ikan telah dibudidayakan oleh manusia, dengan 106 spesies baru dimulai di dekade tersebut. Berbeda dengan budi daya tanaman di mana saat ini hanya 0.08% tumbuhan yang telah didomestikasi dan budi daya hewan darat yang baru mendomestikasikan 0.0002% spesies hewan darat, spesies hewan laut yang telah didomestikasikan elah mencapai 0.13% dan tumbuhan laut 0.17%. Domestikasi umumnya dilakukan setelah puluhan tahun penelitian dan pengamatan.[9] Domestikasi spesies perairan memiliki risiko yang lebih rendah karena tidak menularkan penyakit ke manusia dan cenderung tidak membahayakan.[10] Tertahannya volume perikanan tangkap yang diakibatkan oleh eksploitasi berlebih dari spesies laut membuat para pelaku budi daya perikanan mulai mendomestikasikan hewan laut.

Spesies yang dibudidayakan

Ikan

Di Mediterania, nelayan menjaring ikan tuna sirip biru Atlantik muda dalam keadaan hidup dan memeliharanya di dekat pantai hingga siap dipanen.

Crustacea

Budi daya udang di Asia Tenggara kini beranjak dari usaha tradisional hingga industri skala besar. Peningkatan teknologi meningkatkan kepadatan udang di dalam kolam, dan bibit udang dijual ke seluruh dunia. Saat ini seluruh jenis udang yang dibudidayakan berasal dari famili Penaeidae dengan 80%-nya berasal dari spesies Penaeus monodon dan Litopenaeus vannamei. Secara umum udang air tawar maupun air laut memiliki karakteristik dan penyakit yang sama.
Praktik monokultur udang sangat rentan terhadap penyebaran penyakit yang mampu membinasakan seluruh udang yang dipelihara serta membahayakan lingkungan sekitar, sehingga praktik pemeliharaan secara lestari dipromosikan oleh berbagai organisasi lingkungan.
Produksi udang secara global (tanpa kepiting dan lobster) pada tahun 2003 adalah 230 ribu ton.

Mollusca

Budi daya abalon
Budi daya kerang mencakup juga tiram dan spesies bivalvia lainnya. Mereka merupakan hewan penyaring dan deposit yang bergantung pada keberadaan plankton sebagai makanannya. Pembudidayaan kerang secara umum amat bergantung pada jenis spesies dan kondisi lingkungan tempat ia hidup. Kerang dapat dipelihara di tambak pantai, menggunakan rawai, atau dikurung di dalam kandang mengapung. Kerang liar juga dapat ditangkap dengan mengambilnya secara manual dengan tangan atau mengeruknya dari dasar laut.
Abalon dipelihara sejak tahun 1950an di Jepang dan Cina. Sejak tahun 1990an industri ini terus berkembang yang disebabkan menurunnya suplai tangkapan abalon akibat penangkapan berlebih.

 

 

 

Spesies lainnya

Rumput laut dan alga juga termasuk spesies yang dipelihara dalam budi daya perairan. Hewan lainnya seperti timun laut, landak laut, ular laut, dan ubur-ubur juga dipelihara meski masih jarang. Di Cina, timun laut telah dipelihara di kolam.

Dampak

Akuakultur dibandingkan perikanan tangkap dapat lebih merusak lingkungan secara lokal namun lebih bersahabat secara global, per kg hasil. Kerusakan lokal mencakup masalah penanganan limbah, penggunaan antibiotik, kompetisi antara hewan budi daya dan hewan liar, dan penggunaan ikan tangkapan dan budi daya untuk membudidayakan ikan karnivora. Spesies budi daya dapat menjadi spesies invasif jika terlepas ke lingkungan karena mereka diseleksi untuk tumbuh dan berkembang biak dengan cepat.Masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengurangi masalah tersebut.
Limbah dari akuakultur umumnya bersifat organik dan dapat terurai menjadi nutrisi untuk organisme lain. Namun keberadaan limbah organik yang terlalu banyak dapat mempengaruhi kadar oksigen terlarut di dalam air karena proses dekomposisi, sehingga membahayakan hewan yang amat tergantung pada oksigen terlarut.

Dampak terhadap ikan liar

Ikan salmon kini sedang disorot karena praktik budi dayanya. Ikan salmon merupakan karnivora yang membutuhkan ikan hasil tangkapan nelayan sebagai sumber pakannya. Meski dapat diberi makan dari sumber nabati, namun hasilnya akan kurang baik karena salmon terkenal dengan kandungan asam lemak omega 3 yang hanya didapatkan dari akumulasi pada rantai makanan. Secara keseluruhan, nutrisi yang dihasilkan dari salmon jauh lebih rendah dari nutrisi yang didapatkan dari ikan yang diberikan kepada salmon. Total kadar minyak ikan dari ikan yang diberikan ke salmon lebih tinggi 50% dibandingkan minyak ikan yang dihasilkan salmon. Dalam massa daging, satu kg daging ikan salmon didapatkan setelah memberikan beberapa kg ikan hasil tangkapan ke salmon. Pengembangan budi daya ikan salmon akan menyerap lebih banyak lagi ikan hasil tangkapan nelayan sehingga penangkapan ikan akan melebih batas kelestarian.
Ikan salmon hasil budi daya juga telah diseleksi dan dimodifikasi secara genetika untuk menghasilkan salmon yang superior sehingga lepasnya ikan salmon ke alam liar dapat mencemari genetika populasi ikan liar jika terjadi perkembangbiakan dengan spesies liar dan menjadi spesies invasif. Dalam sebuah percobaan di lab, ikan salmon liar yang bersilangan dengan ikan salmon hasil modifikasi genetika lebih agresif namun pada akhirnya tidak mampu bertahan. Hal ini dapat menyebabkan punahnya salmon di alam liar.

Ekosistem pantai

Akuakultur dapat membahayakan ekosistem perairan dekat pantai. Sekitar 20% dari hutan bakau di seluruh dunia telah dirobohkan sejak tahun 1980an untuk membangun tambak udang. Biaya eksternal pada sistem perekonomian primitif tidak diperhitungkan sehinga secara keseluruhan kerugian jauh lebih besar dibandingkan keuntungan yang didapatkan. Selama empat dekade di Indonesia, 269 ribu hektare hutan mangrove telah diubah menjadi tambak udang dan saat ini telah dibiarkan karena terjadi penumpukan toksin akibat usaha budi daya yang tidak lestari..
Budi daya salmon mampu mencemari perairan setempat dengan fesesnya, yang seringkali mengandung antibiotik dan pestisida sistemik yang diberikan untuk menangkal penyakit dan hama. Akumulasi logam juga terjadi, terutama tembaga dan seng.

Prospek

Perikanan tangkap secara global mengalami penurunan dengan rusaknya berbagai habitat ikan. Budi daya ikan karnivora seperti salmon tidak membantu karena salmon justru memakan ikan lain yang sesungguhnya dapat dikonsumsi manusia. Ikan yang berada pada tingkatan trofik yang tinggi pada rantai makanan cenderung tidak efisien sebagai produsen pangan.
Beberapa jenis akuakultur fotosintetik (alga dan rumput laut) dan hewan penyaring seperti kerang dan tiram cenderung lebih ramah lingkungan. Mereka juga menyerap polusi dan nutrisi berlebih di perairan sehingga meningkatkan kualitas air. Rumput laut menyerap nutrisi anorganik secara langsung dari air, dan hewan penyaring menyerap fitoplankton dan partikel organik sehingga berperan sebagai detritivora.
Berbagai organisasi akuakultur mempromosikan praktik usaha yang menguntungkan secara lestari dan berkelanjutan. Metode ini mengurangi risiko pencemaran dan meminimalisasi stres pada ikan, mengistirahatkan kolam, dan menerapkan manajemen hama terpadu. Penggunaan vaksin diutamakan untuk mengurangi antibiotik.
Sistem resirkulasi mendaur ulang air dengan menyaring kotoran ikan dan sisa makanan dan mengembalikan air yang telah bersih ke dalam tangki pemeliharaan. Sistem ini menghemat penggunaan air, dan limbah yang terkumpul dapat digunakan sebagai kompos. Sistem ini dapat diterapkan pada air tawar maupun air laut.
Beberapa negara kini menggunakan energi terbarukan untuk akuakultur. Di California, berbagai usaha budi daya ikan yang memproduksi ikan nilai, bass, dan lele mengambil air dari sumber geotermal sehingga mengurangi energi yang diperlukan untuk menghangatkan air. Dengan terjaganya temperatur air, ikan dapat tumbuh secara optimal sepanjang tahun dan menjadi dewasa lebih cepat. Secara kolektif, perikanan budi daya di California menghasilkan 4.5 juta kilogram ikan per tahun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar